Ada
satu orang gila yang menyusup kedalam gua dengan membawa sebuah peti kemas
yang katanya berisi harta para manusia borjuasi nusantara. Setelahnya ia pergi
kesebuah tempat sederhana tak jauh dari gua. Dengan lantangnya ia menceritakan betapa gila manusia zaman itu, hidup pada kungkungan feodalisme. Segelintir manusia duduk terdiam membentuk lingkaran kecil sedang terpaksa memasangkan mata dan telinga mendengarkan semua celotehannya. Lagaknya
bak pendongeng handal yang menyihir telinga manusia.
“Sungguh gila dia” Terhenyak.
Ringkasannya, persoalan itu dimulai saat ia tinggal disebuah kota para manusia nusantara. Menjadi seorang pesuruh dari pagi hingga malam kepada bangsawan cakap dalam bekerja namun dungu dalam mengambil keputusan. Perhitunggannya selalu tak karuan bahkan tak segan menggeserkan hukum-hukum alam.
"Sungguh bodoh, bos beta. Tapi karena cuan, apa boleh buat !" Teriaknya.
“Dalam hati beta benci mengakui itu” ucapnya “ Tapi kau tahu sekian ribu tahun beta lelah ada diantara para manusia beranak pinang yang hingga kini masih bicara tentang siapa kitorang dan siapa dorang, mubazirlah sudah hidup beta."
Mulutnya menyembur berapi-api seperti dendam para sekutu lama yang tersimpan dan siap meluncur. Matanya terbelalak keluar menahan amarah yang lama terpendam. Bagaimana tidak selama ini dia terjerembab dalam jurang bersama orang-orang yang ‘tak menginginkannya. Disingkirkan dan diacuhkan karena kasta. Tersungkur dalam genangan tahta memang sulit mengembalikan rasa kemanusiaan. Hanya segelintir kemanusiaan yang memandangnya dalam balutan welas kasih, tapi masih saja ada yang antipati.
Tak ada satupun manusia mana yang tak ingin dihargai disetiap jejak pengabdiannya. Setiap jerih payah keringatnya bercucuran demi sebuah kehidupan. Miris sekali nasibnya saat mengingat krisis kemanusiaan mulai musnah di kota itu. Hingga ceritanya berhenti. Diamlah sejenak, berfikir dan tetiba tersontak.
“bagaimana
kalau beta bakar saja ?”
Para mendengar dibuat bingung keheranan. “belum cukup apa yang kau curi dalam
peti itu”
“ini
tak seberapa dari apa yang dorang kantongi di alam kitorang” sahutnya.
Saat fajar esok tiba niatan bulat itu menjadi jalan satu-satunya memenangkan perang kasta ini. Berdiri diantara harga diri. Dan benar, esoknya ia pastikan tidak akan ada lagi yang gila dikota itu, suara nyaring cemooh akan kasta, ras,
atau warna kulit. Karena sudah cukup untuk sekian lama para penghuninya menjadi
agonia yang bersorak sorai dalam hati.
Komentar